Cerita Anak - Cerpen untuk anak-anak

 


Si Putri Istimewa

Karya: Mauidhotul Husniyah

 

Pagi itu jendela kembali terbuka, sinar matahari masuk pelan-pelan ke dalam kastil. Burung kutilang menyanyi seperti hari sebelumnya. Legi, si gadis mungil yang tinggal di sebuah kastil megah milik ayahnya, sedang asik bermain bersama temannya. Ibu dan ayah Legi  bekerja di pasar, menjual buah-buahan hasil perkebunan. Di sebelah kanan kastil, ada perkebunan yang sangat luas, banyak pohon-pohon buah, ada jeruk, ada apel, sirsak, dan yang paling Legi sukai adalah buah sawo. Buah berwarna cokelat dengan aroma manis yang menyengat.

Bulan ini, usia Legi genap sembilan tahun. Legi memang tidak sekolah, karena Legi dianggap terlalu istimewa. Legi sangat cantik, kulitnya halus dan sehat, rambutnya berkilau, badannya kuat, karena sering lari-lari di perkebunan bersama Ozi. Hampir setiap hari, Legi bermain bersama boneka buatannya sendiri, bentuknya memang agak aneh, tapi sangat lucu bagi Legi. Namanya Ozi. Boneka itu, selalu dibawanya kemana-mana. Ke Perkebunan, ke pasar, dan juga saat tidur.

Suatu hari, Legi kehilangan Ozi, dicarinya boneka itu sembari menangis. Ayah dan Ibunya sibuk bekerja di pasar, Legi sendirian di dalam kastil, seharusnya berdua bersama Ozi, tapi Legi kehilangan Ozi. Beberapa jam setelah lelah berkeliling kastil. Legi termenung di sudut kamarnya, ia usap air matanya, dan mencoba mengingat kembali, dimana terakhir kali Legi meninggalkan Ozi. "Aha" ucapnya kegirangan, Legi ingat, bahwa ia tengah menjemur Ozi, karena baru saja dicucinya.

Legi memeluk Ozi erat-erat, karena hanya Ozi lah teman Legi selama ini. Kastil tempat tinggal Legi berada di dalam hutan, sulit sekali menemukannya jika tidak paham jalanan hutan. Bisa kesasar kalau nekad masuk tanpa petunjuk jalan.

Sore hari seperti biasa, para pembeli dari kota berdatangan, mereka membawa mobil bak besar, berwarna hitam, biru, ada juga yang warna kuning. Pembeli dari kota selalu membeli buah-buahan dalam jumlah yang sangat banyak. Dari kejauhan, Legi mengamati mereka dari balik pohon Sawo, matanya tertuju pada seorang anak laki-laki yang digandeng ayahnya. Bajunya warna ungu, bercelana merah dan memakai topi seperti koki. Dalam pikiran Legi, tampilan anak itu sangat aneh, dalam hatinya, Legi ingin sekali mengkritik pakaian anak itu.

 

Dua hari setelahnya. Legi sedang bermain dengan Ozi,boneka kesayangannya. Dari jauh, mata Legi melihat seorang anak lelaki berjalan mendekat menuju kastil. Anak itu menatap Legi dengan senyum ramah di balik gerbang kastil, anak itu giginya ompong, bagian atas giginya terlihat menghitam.  Anak itu melangkah lebih dekat ke arah Legi.

"Aku Wira, anak desa seberang, bukan anak kota," ucap anak itu sembari mengulurkan tangan kanannya.

Legi memandang Wira dengan tatapan heran, Legi tidak merespon, dia hanya diam seperti batu, kemudian pergi dan masuk ke dalam kastil. Wira tampak kecewa dengan sikap Legi, ia pulang dengan wajah cemberut, juga perasaan sedih.

Di dalam kastil, Legi mencoba mencari pembenaran atas sikapnya tadi, karena menurutnya dia terlalu istimewa untuk bisa berteman dengan anak biasa seperti  Wira. Legi melihat cermin berkali-kali sembari memuji dirinya sendiri.

"aku terlalu indah untuk didekati orang biasa, itu yang aku tau," Legi bergumam sambil berlenggak-lenggok di depan cermin.

Beberapa hari setelah kejadian itu, datang seorang saudagar kaya raya ingin membeli separuh lahan perkebunan,tetapi ayah Legi tidak menyetujui hal itu, wajah saudagar itu tampak marah, dan ia pergi tanpa pamit kepada ayah Legi.

Bulan purnama muncul begitu indah di atas langit, warnanya putih dan bentuknya bulat sempurna. Legi mencoba menggambar bulan itu di atas kanvas. "BRAAKK" terdengar suara sangat gaduh di lantai bawah, Legi ketakutan mendengarnya, ia bersembunyi di bawah meja sembari memeluk Ozi. Tubuhnya gemetaran, keringat bercucuran dan air matanya tumpah. Legi menangis sesenggukan.

Lambat laun, suara gaduh itu mulai menghilang, tak terdengar. Karena penasaran, Legi memberanikan diri menuruni tangga. Dilihatnya seluruh isi rumah berantakan, ayah dan ibunya menangis berpelukan. "Ada perampok masuk kastil," kata Ayah Legi, semua uang dan emas dibawa perampok itu, buah-buahan di perkebunan belum matang, mereka tidak punya apa-apa, dan terpaksa Legi harus pindah sementara ke desa seberang untuk  tinggal bersama kakek neneknya.

Dua jam perjalanan berlalu. Legi sampai di rumah sederhana milik kakek dan neneknya. Legi disambut hangat. Legi hanya bercerita satu hal, tentang dirinya saja. Keistimewaannya yang sangat ia banggakan. Kakek dan nenek terlihat khawatir, nenek memberi tau Legi tentang suatu hal "kamu lihat langit itu, mereka bertingkat, diatasnya langit masih ada langit," diusapnya rambut Legi dengan kasih sayang.

Karena sudah tidak tinggal di dalam kastil, kini Legi harus mau bersekolah. Di hari pertamanya, Legi sangat sulit mempunyai teman, karena dia merasa tidak ada yang pantas menjadi temannya. Karena  hal itu, Legi sering menyendiri, dia sering bermain batu di pinggir sungai dekat sekolah.

Kali ini, Legi  bermain perahu kertas, di dorongnya perahu itu dengan kayu perlahan-lahan, di dorong lagi hingga hampir ke tengah sungai.

Dan "BYUUUR" Legi terpeleset lumut tepian sungai, ia belum bisa berenang, napasnya tersengal-sengal, "Tolong, tolong, tolong," suaranya tidak terlalu keras.

Ia berusaha untuk menepi, tapi selalu gagal, tangannya mencoba menggapai kayu tapi tidak sampai. Legi pasrah pada takdirnya, ia benar-benar menyerah. Matanya tertutup dan ingatannya melayang.

"Bertahaannn," tiba-tiba ada suara teriakan, seorang anak laki-laki menceburkan diri ke dalam sungai untuk menolong Legi yang sudah pingsan. Didorongnya tubuh Legi menepi dengan  sekuat tenaga. Sesampainya di tepian, anak itu mencoba menyadarkan Legi, tapi tidak bisa. Ia berteriak sekuat tenaga berkali-kali "TOLOOOOOONG, TOLONG, TOLOOONG" akhirnya para warga berdatangan  untuk menolong Legi.

Legi baru bisa pulih setelah tiga hari beristirahat di rumah. Kakek neneknya merawat Legi penuh cinta. Nenek Legi menyuapi makanan dengan pelan-pelan.

"Legi, kamu tau siapa anak laki-laki yang baik hati, dan mau menolongmu?" Sejenak, Legi mencoba mengingat, tapi dia tidak tau dan menggeleng kebingungan.

"Dia Wira, katanya, dia temanmu saat masih di kastil. Nenek lihat, dia sangat ramah, bahkan dia memberimu perahu kertas ini," perahu kertas warna biru milik Legi yang hanyut tadi, kini berada disamping bantal. Mendengar cerita neneknya, Legi menangis menyesali sikap sombongnya. Dan berniat akan menjadi anak yang rendah hati juga penyayang kepada sesama.

 

TAMAT.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Artikel Coronavirus Pandemic - Social Media as Poison and Medicine for Digital Society

Puisi bertema negara

Artikel Bahasa Inggris - “The advance of technology makes people more individualist” Reach Achievements In The Virtual World: Living For Yourself - Hidup di Era Digital