Cerpen Remaja - Cerpen kisah Santri
Kopi
Kang Santri
Oleh: Mauidhotul
Husniyah
Suara
riuh tapi syahdu itu terdengar hingga tempatku melamun. Suara sholawat dengan
musik banjari yang berasal dari pondok sebelah, santri putra membuatku hanyut. Di
bawah rindang pohon ini, aku melabuhkan raga untuk sejenak merenung akan semua
hal yang telah terjadi. Jarak labuhanku
dengan santri putra, hanya sekitar 35 meter. Aku tak bermaksud untuk mengintip,
atau sekedar bertegur sapa dengan mereka. Hanya ingin menenangkan diri.
“ya
ustad, saya setor hafalan juz 4 saja hari ini, maaf saya tertidur semalam”
tutur halus dari seorang santri putra hafidh Qur’an. “tak apa, anta sudah
hafalan banyak kemarin” jawab sang ustad dengan senyum mengembang. Disekeliling
mereka pun, sangat ramai dengan para santri lain yang sedang setor, atau
lalaran (mengulang kembali hafalan yang telah dihafal).
Dibalik
tembok lain, santri putri sedang sibuk mengahafal pula. Ada segurat wajah yang
risau disana. Ia sudah hafidzah sejak lama. Semenjak Mts, orang tuanya sudah
membimbingnya menghfal Qur’an. tak seperti pagi biasanya, ia seperti termenung.
Entah apa yang terlintas difikirannya.
“gus,
anta gak hafalan lagi? Ana
sudah 5 juz. Masa mau kalah sama ana?” tegur Khairi. “ana sedang risau sekali
ri, entahlah.” Jawab Irsyad dengan wajah lesu. “mari ngopi saja, kohwah(kopi) bisa membantumu cepat
hafal” tawar khairi. “ana jarang minum kopi ri, masa kopi bisa membantu
mempercepat hafalan?” Irsyad memajang wajah keheranan. “coba saja dulu syad,
anta akan tau nanti”. Mereka melangkah ke belakang gedung pondok.
Disana,
terbentang tanah lapang yang hijau dan pohon-pohon bambu yang rindang, yang
bersuara ketika bergesekan ditiup angin. Dibawah beberapa pohon bambu , sudah
ada bayang (tempat duduk panjang seperti meja yang terbuat dari bambu yang
disusun secara rapi). Indah dan teduh sekali, udara segar juga terasa sedang
memanjakan paru-paruku, hingga lantunan tasbih terus terucap dalam hati. “sebentar
,ku seduhkan kopi untuk anta” kujawab dengan anggukan tanda setuju.
Ternyata
ada seperangkat alat peracik kopi di bawah bayang. Tak ku sangka Khairi sudah
mendesain tempat ini layaknya kafe kopi bernuansa alam. 10 menit berlalu.
Khairi tak mengaduk kopi seduhannya. Ia sodorkan cangkir mini dengan bau harum
memikat yang belum pernah kucium. “syukron ri” ku gapai cangkir itu,ku nikmati
bau harumnya, dan ku seruput perlahan. “bagaimana syad?” “masyaAllah, mantap
sekali ri, belum pernah kurasakan kopi seperti ini, sangat menenangkan” mataku
berbinar takjub. “ya sudah, mari hafalan” . kami melantunkan ayat-ayat suci-Nya dengan perasaan tenang,
tempat ini juga membantu untuk mentadabburi setiap huruf-huruf suci-Nya.
“
Kei, kamu kenpa sih?” selidik Ratna. “ na, kamu tau akun facebook yang namanya
kang santri nggak?” Keisya galau karena masalah
wajah yang tempampang di salah satu media sosial itu. “memangnya kenapa?
Kamu suka sama dia, atau gimana?” Ratna keheranan. “ndak gitu sih, aku gak tau
sih, tadi aku nge-search nama pondok
kita , terus aku scroll –scroll , eh
kok ada akun itu, wajahnya itu na, masyaAllah, bikin adem” cerocos Keisya
dengan pipi yang berubah seperti memakai blash
on. “kamu itu key, ngagetin, tak kira ada apa gitu” ratna menjawab dengan
wajah lesu. “eh maaf na, gak maksud gitu, aku cuma pengen nanya aja,mungkin
kamu tau” keisya tertunduk lemas. “hehe gak apa kok, itu akun punya Irsyad, dia
sepupuku” ratna menjawab dengan memperbaiki kerudung panjangnya. “eh yang bener
na, masyaAllah, na aku..” belum selesai ia berkata. “aku setor dulu ya , nanti
aja , Assalamu’alaikum” Ratna berjalan dengan langkah tergesa-gesa,
meninggalkan Keisya dengan kegundahannnya.
Semilir
angin membuat dedaunan bambu melambai-lambai, juga meniup pelan ujung-ujung
rambut dua orang santri putra yang tengah mesra melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an
karim. “Alhamdulillah, ana sudah hafal 3 lembar dari juz 5 ri. Subhanallah.
Terima kasih ri” Irsyad berbicara layaknya penyair dengan menggerakkan
kepalanya perlahan ke kanan dan ke kiri.
“Alhamdulillah. Anta ini goyang-goyang macam apa saja “ tawa keduanya pecah.
Mereka melangkahkan kaki menuju kamar masing-masing dengan perasaan penuh
syukur.
“min
aina anta syad?” Rozaq bertanya sambil menyeruput kopinya. “dari belakang
pondok zaq, ana baru tau kalau kopi bisa menenangkan sedikit ketegangan,atas
izin Allah” Irsyad ikut menyeruput kopi milik
Rozaq. “ana kan sudah bilang, dari pada anta cari ketenangan dengan hal yang
lain dan belum jelas, ngopi lah saja. Dengan niat beli kopinya agar petani kopi
mendapat rezeki, juga ditadabburi, bahwa Allah memberi kita biji ajaib ini,
bersyukurnya juga jangan lupa” kata-kata bijak Rozaq menembus dinding-dinding
pondok yang bisu.”Dan kita akan tau, bahwa yang hitam tak selalu pahit,dan yang
manis tak selalu akan terasa manis” Sambungnya “Masyaallah. Insyaallah zaq”
Irsyad tersenyum dengan menyeruput kopi sekali lagi dan terlanjur
menghabiskannya. “loh, anta ini bagaimana syad, kalau mau kopi, seduhlah
sendiri” Rozaq memajukan bibirnya seperti anak kecil yang merajuk. “hehe afwan
akhi “ Irsyad menjawab dengan ketipan matanya. Rozaq yang kesal akhirnya
tertawa karena kegelian.
Kaki
keisya perlahan melangkah ke kamar Ratna dengan keraguan juga rasa malu. Dengan
segala kegelisahannya, ia tak tau harus mencari sahabat seperti apa yang bisa
memahaminya, kalau bukan si Ratna. Hampir seminggu sholat istikhoroh tak pernah
ia tinggalkan. Memohon dengan sepenuh hati juga linangan air mata,agar aku tak
larut dalam perasaan yang masih abu ini. “assalamu’alaikum na, kamu sibuk tidak?”
“wa’alaikumsalam aku sudah mengurus masalahmu tentang ikhwan itu, tenang saja.
Aku tak mau kau berlarut-larut. Siang ini aku ada kuliah, jadi tidak bisa
mengobrol denganmu, besok saja ya” ia menjawab dengan memelukku erat. “iya
na,terima kasih”. Ku peluk ia dengan erat pula.
3
tahun berlalu.
Di
pinggiran jalanan desa yang lenggang. Ada sebuah warung kecil yang menyediakan
beberapa macam makanan untuk mengenyangkan perut para santri. Juga ada kopi
nikmat disana. Irsyad dan beberapa santri putra menghampiri warung itu dengan
membawa mushaf Qur’an. Mereka bersenandung cinta ,melantunkan ayat demi ayat
surat Ali Imran secara bersahutan. Setelah sampai, ternyata ibu mah (sebutan untuk ibu penjual diwarung,
karena namanya bu Srimah) sudah tau apa saja yang akan dipesan oleh mereka.
Sudah disiapkan semuanya. Irsyad yang menyukai kopi hitam tanpa gula, Khairi
sangat menikmati kopi cappuccino, dan 2 santri lain yang kompak hanya memesan
teh manis hangat.
Mereka kompak menyeruput seduhan masing-masing.
Masyaallah. Dibukanya mushaf yang kertasnya telah menguning itu, karena warisan
dari kakeknya yang 2 tahun lalu telah dipanggil Allah Swt. Ia baca
berulang-ulang ayatnya , agar cepat hafal. Sambil sesekali menyeruput kopi
hangatnya. Aroma kopi membuat sel-sel otaknya tenang dan terlatih menghafal
dengan nyaman dan cepat.
7
bulan kemudian.
“anta
dapat jodoh syad?” Khairi bertanya dengan wajah serius tapi tampak lucu.
“Alhamdulillah, ada yang mau ta’aruf dengan ana, 3 bulan lalu ana mengenalnya
lewat Abah yai. Katanya ia anak seorang petani kopi di desa terpencil, karena
kopi anugerah Allah, ayahnya bisa membiayai sekolah hingga lulus kuliah
sekaligus memondokkannya. Masyaallah.” Irsyad menjawab dengan wajah tenang
namun terpancar bahagia. “wah, ana tertinggal dengan anta syad, kalau baik
agamanya, nikahi sajalah. Tak akan datang dua kali gadis sholihah syad”
“InsyaAllah, 1 bulan lagi akad nikah kami, do’akan saja” .”Insyaallah syad,
semoga cintamu bermukim hingga ke syurga,al-fatihah” kalimat berakhir dengan
keheningan dalam khusyuk membaca ummul Qur’an.
3
bulan berlalu.
Dengan
izin dari-Nya. Muhammad Irsyad dan Keisya Al-Mukhbitah resmi menjadi pasangan
suami istri. Kini, mereka saling menatap penuh cinta. Dalam hati mereka
masing-masing, sedang bergejolak dengan besarnya bara cinta dan juga kekaguman
akan takdir indah ini. Keisya yang dulu sangat mengagumi Irsyad lewat akun
facebooknya. Dan ternyata Irsyad yang telah lama dibuat tak tenang karena
seberkas wajah Keisya yang menyiksa dirinya. Ternyata ,alasan Irsyad melamun
tak tenang sehingga tak lancar hafalannya, itu karena ia tak sengaja melihat
Keisya sedang duduk anggun di bawah pohon rindang dekat pondok putra. Ketika
itu, Irsyad sedang mendapat bagian piket menyapu bagian paling pojok pondok
putra. Dan tak sengaja melihat Keisya tengah melamun sambil lalaran hafalannya.
Sejak saat itu ia menjadi kacau dan risau.
Terus memikirkan wajah syahdu yang asing itu. Hingga ia akhirnya berkenalan
dengan aktivitas ngopi, minum kopi sambil menghafal Qur’an, juga tak jarang
ngopi (ngobahno piker) saling bertukar fikiran dengan santri-santri putra lain,
baik masalah agama, hingga politik. Dan kini, ia menyatukan separuh jiwanya
dengan separuh jiwa kekasihnya. Menjadikan agama mereka sempurna. Dan
bersama-sama menimba pahala hingga ke syurga-Nya.
Rabu,
26 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar