Cerita Pengalaman Hidup-Cerita Masa SMA
Bahagia Sesaat
Baru
saja aku tamat SMA. Dulu, aku tinggal di asrama berbasis pesantren. Tentu
disana terdapat beragam manusia. Aku
yang merupakan seorang anak tunggal,harus mampu beradaptasi dengan lingkungan
baruku. Tertekan awalnya. Karena tak terbiasa harus berbagi dengan yang
lainnya. Selain itu, di asrama yang kutempati dulu, masih menggunakan sistem
“kolot”. Junior harus patuh pada senior, junior harus hormat pada senior,
junior harus tersenyum dan menyapa senior walau tidak saling kenal, juga “tataran”
semacam tradisi paling kejam disana. Dimana kesalahan kecil dibesar-besarkan
dan akan dikenang sebagai perbuatan fatal. Walaupun kesalahan itu, masih dalam
ambang biasa menurutku. Seperti, aku tak menyapa seniorku saat kami berpapasan,
malam nanti dipastikan aku akan diadili puluhan senior yang melontarkan
kata-kata tajam menyayat hati. Juga mata yang melotot tepat didepan wajahku.
Untungnya, tak ada kekerasan fisik dalam tradisi tataran ini.
Beralih
pada penghuni asrama yang lain. Teman. Ada banyak variasi sifat manusia. Yang
jujur saja, baru kutemui diasrama ini. Karena memang, dulu aku sulit
bersosialisasi. Dari sanalah aku belajar tentang manusia. Ada, yang ketika
didepan kita dia terlihat sangat baik, namun dibelakang menusuk kejam, ada yang
sukanya memfitnah orang, ada yang tak bisa mengontrol mulutnya untuk tak bicara
tentang keburukan. Sering sekali aku mengingatkan mereka, namun balasan pahit
yang kudapatkan,dikucilkan. Semua mata memandangku aneh, dibilang so alim, so
suci, dan sebagainya.Itu awal mulanya.
Hari
berganti hari, mereka mulai bisa aku pahami. Bagaimana aku harus bersikap acuh
pada gunjingan-gunjingan, perlakuan kasar dan sebagainya. Aku menerjang badai.
Darisana pula, ku temukan sahabat sejatiku. Ia sangat lucu, ramah, dan suka
bercerita. Dia yang selalu memahamiku. Juga membantuku menghadapi semua
tantangan hidup selama di asrama. Aku sebut tantangan, karena dengan cobaan
yang ada, sebenarnya Allah rindu dengan kita, Allah ingin kita bercakap-cakap
dengan-Nya, memohon pada-Nya, dalam lantunan dzikir dan romantisnya sujud. Itu
menandakan Allah perhatian pada kita, tak bisa dibayangkan, bagaimana rasanya
diacuhkan oleh Allah. Nauzubillah.
Setahun
berlalu.
Kala
itu, setahun sebelum kelulusan. Aku mengenalnya. Seorang guru bahasa inggris di
asramaku. Dia mendekatiku, setelah melihatku menangis kesakitan akibat kakiku
kesleo saat lomba dihari peringatan kemerdekaan. Dia memandangiku dengan penuh
perhatian. Sejak saat itulah, aku dan dia sering berkirim kabar melalui pesan
singkat di handphone. Dan tumbuh buih-buih rasa disana.
19
Agustus 2017.
Aku
dan dia resmi berpacaran. Kami sering bertemu saat diluar lingkungan sekolah
dan pondok. Satu dua kali masih pertemuan biasa. Petemuan ketiga dan
seterusnya, kami mulai berani bersentuhan tangan, pipi, merangkul dan
sebagainya. Perih sekali mengingat hal itu. Aku merasa menjadi wanita yang
bodoh. Aku dan dia sebenarnya sudah sepakat takkan saling menyentuh, namun goda
setan dan nafsu yang membuncah membuat kami tak mampu mengendalikan diri.
Aku
malu. Malu pada Sang Rabbi, malu pada Baginda Rasulullah, para penghuni langit,
dan seluruh alam semesta. Karena aku telah menyadari bahwa aku mendzolimi
diriku sendiri. Maka tepat dihari ulang
tahunku yang ke 19. Aku memutuskan dia, pacarku. Kami putus secara baik-baik,
aku menjelaskan panjang lebar padanya tentang kerugianku selama bersamanya. Dan
ia mampu memahaminya, dia terlihat amat sedih juga menyesal. Karena peristiwa
itu, aku dan dia memutuskan untuk berhijrah. Memulai hidup baru dijalan yang
menuju Ridho-Nya.
Komentar
Posting Komentar