Cerpen Nafas Tasbih Harun - Cerpen Mengharukan


Nafas Tasbih Harun
Oleh: Mauidhotul Husniyah

Dia suami pertama dan terakhirku. Inilah kisah ia ketika masih muda. Beberapa tahun lalu. Kaki-kakinya tak mampu berpijak dengan nyaman. Kaki sebelah kiri harus diamputasi akibat terkena air raksa. Kaki sebelah kanan, tulang-tulangnya patah akibat terlindas ban mobil. Kini, ia berjalan dengan cara merangkak yang bertumpu pada kedua tangan mungilnya. Anak lelaki itu berumur 14 tahun. Ia terpaksa putus sekolah karena keadaan. Selain karena biaya, juga karena kondisinya yang tak memungkinkan. Ayah dan ibunya telah meninggal 4 tahun lalu setelah kecelakaan beruntun yang menimpanya juga orangtuanya. Saat itu, ia masih sangat polos, hingga mengira bahwa orang tuanya, hanya sekedar tidur untuk waktu lama karena kelelahan bekerja.

Harun Ali namanya. Kini, ia tinggal di sebuah panti asuhan, ia juga bekerja sebagai penjual Koran di jalan pantura dikala lampu merah. Harun sangat mensyukuri hidupnya. Ia tak pernah menangis apalagi meratapi kondisi fisiknya. Ia optimis akan bertemu kedua orang tuanya lagi, jika ia bisa sukses dan terus bersyukur kepada Tuhannya. Keyakinan dan prinsip itu , memang ditanamkan ibu panti kepada setiap anak-anaknya. Semangat dan dukungan terus dialirkan ke pembuluh perjuangan mereka.

Harun, salah satu bocah yang sangat giat dan tekun dalam bekerja. Ia juga sangat rajin dalam beribadah. Tak pernah ia lewatkan sholat shubuh berjama’ah di masjid, yang berjarak 3 km dari panti asuhan tempat tinggalnya. Dengan berjalan merangkak ia memerangi kekurangan fisiknya. Ia tak peduli komentar orang lain, yang ia yakini, bahwa Tuhan melihat perjuangannya. Anak lelaki itu, selalu melontarkan senyum saat cibiran-cibiran pedas melintasi gendang telinganya. Kini, Harun terus mengejar mimpinya. Ia menabung uang hasil penjulan korannya, agar bisa mondok dan mendalami agama islam nantinya.

7 tahun berlalu.

Harun kecil telah beranjak dewasa. Kini, ia menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di kotanya. Ia juga mengabdi di pondok pesantren salaf,yang jaraknya 3 km dari kampusnya. Ia menempuh perjalanan dengan berjalan merangkak. Tak pernah ada kata menyerah dalam kamus kehidupannya. Bahkan, ia selalu yakin bahwa ia akan berhasil di masa depannya. Harun, sangat mahir melantunkan ayat-ayat suci-Nya dengan alunan nada dan irama yang khas juga merdu. Ia menjadi qori’ juga hafidh Qur’an. SubhanAllah. Tak jarang ia diundang dalam acara-acara seminar mahasiswa sebagai motivator muda.

2 tahun kemudian.

 Cobaan berat menimpanya kembali. Kini, harun harus memilih untuk tetap hidup tanpa kedua lengan atau mati membusuk dengan lengan utuh. Harun memiliki penyakit genetic dari ayahnya. Diabetes. Saat itu, ia sedang mendorong sebuah kardus yang berisi buku-buku bekas untuk anak-anak panti asuhan. Ia mendorong perlahan kardus itu, menuruni anak tangga. Namun, takdir berkata lain, ia terpeleset dan kedua lengannya terkilir juga tertimpa buku-buku bekas itu. Awalnya hanya luka ringan. Tetapi, hari demi hari luka pada lengannya tak kunjung mengering.

Hingga akhirnya, ia harus bersimpuh pasrah dalam kesedihan mendalamnya. Ia yakin akan janji Allah. Ia relakan kedua lengannya diamputasi. Dan kini, harun berjalan ngesot, ia beberapa kali harus tersungkur dan jatuh. Tangisnya sempat pecah. Rasa putus asa menghantuinya. Hingga ia penah berniat untuk bunuh diri.

Saat itu,pondok sedang sangat senyap. Ia mengesot menuju gudang. Ia menangis sejadi-jadinya dalam gudang. Ia merasa tak berguna lagi. Niatan meminum racun tikus pun ia pilih. Ia genggam segeles racun tikus yang ia oplos dengan lotion anti nyamuk itu. Lama ia pandangi gelas itu. Terlihat ramuan itu mengambang menawarkan sensasi kebebasan.  

Tatapan harun menjadi kosong. Ia menerawang pada jendela gudang. Sekelibat matanya memandang dua ekor burung bertengger disarangnya,tepat di luar jendela gudang. Sang ayah burung kebingungan hendak mencari makan, karena anak-anak burung itu mengisyaratkan rasa lapar. Lama ia terbang memutari daerah sarangnya. Hingga beberapa menit berlalu. Harun tetap memerhatikan burung itu. 2 jam berlalu. Ayah burung itu kembali dengan membawa sebiji padi. Hanya sebiji. Ia mematuk-matuk padi itu hingga terbagi menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, burung itu menyuapi anak-anaknya dengan paruh secara perlahan. Hingga keluarga burung itu terlelap. Harun tetap memandanginya. Tak henti air matanya mengalir deras di pipinya. Hingga ia pun terdiam dan merenung cukup lama. Ia redam emosinya, mencoba mengontrol kekakuan hatinya. Ia tenangkan saraf otaknya. Hatinya bergumam.“Allah bersamaku, Dia membelaiku, tak pernah luput mengawasiku, selalu ada untukku. Aku pun berpijak pada bumi-Nya. Lalu, apa yang ku khawatirkan dalam hidupku. Bahkan burung yang belum memiliki bekal makanan untuk hidupnya. Tetap tenang-tenang saja. Karena burung itu yakin atas rezeki yang telah ada untuknya. Harusnya aku pun begitu. Maafkan aku ya Allah..ampunilah prasangkaku, ampuni kehinaanku” harun menangis tersedu-sedu hingga ia terlelap.

Keesokan harinya, ia memulai hidupnya kembali, dengan basmalah yang terus menggebu disetiap awal aktivitasnya. Ia membentuk lengkungan senyum di kedua ujung bibirnya. Semangatnya terus berpacu hingga ia lupa akan kekurangannya.

3 tahun berlalu.

Kini, harun menjadi dosen fakultas pendidikan agama islam. Dosen yang sangat memotivasi seluruh mahasiswanya. Juga orang-orang disekitarnya. Karena keyakinan penuh dan sifat teguhnya. Harun terus melaju menjadi khalifah bumi yang sesungguhnya. Yang terus mengingat Allah dalam setiap hembus nafasnya. Aku sangat mengaguminya, sangat menyayangi dan mencintainya. Aku mengenalnya, karena ia dosenku dulu. Namun, hal buruk itu terjadi, Harun meninggalkanku saat kandunganku masih 4 bulan. Mas Harun mengalami serangan jantung. Dan seketika membuatku sangat terpukul. Namun, karena mengingat karakter dan segala hal yang telah diajarkannya. Aku menyadari, ia tidak pergi. Selalu ada dihatiku juga orang-orang yang menyayanginya. Dan sedang menungguku di surga-Nya.
Harun Ali, pemuda dengan sejuta rasa syukur dalam hatinya. Suamiku dan biadadaraku, kelak nanti di surga-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi bertema negara

Artikel Coronavirus Pandemic - Social Media as Poison and Medicine for Digital Society

Pertama kalinya