Cerpen Cinta Dramatis - Dahlia Impianku


Dahlia Impianku
Oleh: Mauidhotul Husniyah

Sudut kota terasa sempit. Seperti dadaku yang terasa terhimpit, bagai tertusuk cakram tumpul yang dipaksakan. Dan seketika pandanganku menjadi buram. Lamongan, pukul 08.30 pagi.

Langkahku terhenti saat mendengar suara hentkan kaki berjalan ke arahku. “Assalamu’alaikum husniyah” suara gagahnya membuat jantungku meloncat-loncat. “wa’alaikumsalam dok”  jawabku tertahan. “sudah lebih baik kan? Hati-hati kalau berjalan, jangan dipaksakan. Apalagi ke kamar mandi, lantainya licin” nasehat pagi ini untukku darinya. “iya dok, terima kasih” “sudah kewajibanku mengingatkanmu, besok pagi  darahmu akan saya lab lagi, semoga lekas sembuh” pesan terakhirnya untukku, lalu bergegas keluar kamar inapku. Sudah 3 minggu aku mendekam dalam jeruji menyehatkan ini. Rumah sakit. Seperti menjadi rumah ketiga untukku, setelah rumahku dan pondok pesantren. Yang membuatku kesal, dokter tak pernah memberi tauku tentang penyakit yang melandaku. Karena ibu yang memintanya. Jujur saja, itu membuatku semakin galau berkepanjangan.

Namanya Ahmad Raihan. Dia dokter yang merawatku. Aku mengenalnya semenjak aku duduk dibangku Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas. Mas Raihan adalah putra dari salah satu ustad di pesantrenku. Semenjak masa itu, aku kagum dan menyukainya. Tanpa seorangpun yang mengetahui hal itu, kecuali Sang Rabbku. Aku pendam rasaku agar aku dan mas Raihan tetap terjaga.

Bagai bunga dahlia diujung bukit
Kupandangi dari jauh
Ingin ku dekap bunga itu
Lalu menyimpannya dalam kalbu
Tapi apalah dayaku
Yang hanya kumbang buruk rupa tak tau malu

Bait demi bait ku tulis dalam buku catatanku. Aku pengagum lamanya. Sang dahlia yang ku puja. Bernama Husniyah Az-Zahra. Seorang hafidzah,pun qori nan merdu suaranya. Hanya do’a yang kukirim disetiap sujud tasbihku untuknya. Untuk kebaikanku dan ia. Hingga nanti, suatu hari , saat aku telah terpantaskan untuknya. Begitulah gumamku setiap harinya. Aku yang hanya seorang pemuda biasa, pengagum bidadari dunia. Malu sungguh merasa hina, bila melihat kesholehannya. Dan kupandangi diriku ini penuh dosa. Panggil saja aku Raihan. Aku dokter di salah satu rumah sakit swasta di kota Lamongan. 3 tahun sudah pengabdianku. Kujalani dengan penuh semangat karena suntikan rasa kagum pada dahliaku.

Hingga suatu hari, aku membaca ukiran namanya pada daftar pasienku. Perasaanku runyam, seperti terkena ledakan nuklir pada dadaku. Dahliaku menderita sakit parah. Sempat ku berlari menuju kamar mandi hanya untuk menitikkan air mata sedihku. Tidak percaya awal yang kurasa kala itu. Perlahan aku mencoba menerima keadaan nyata ini. Rasa gemetar luar biasa menghujaniku. Bercampur denyutan jantung yang lebih kencang, aku memeriksa keadaannya. Sungguh diluar dugaanku. Hampir saja aku menangis dihadapannya. Dia terkena heartburn dan gagal ginjal kronis. Rasa sesal melandaku. Belum sempat ku rangkai semua yang ingin ku utarakan padanya. Belum terlaksana niatku mempersuntingnya. Mataku terasa berat melihat tulisan hasil laboratorium itu. Hingga hari ini, aku merawat dahliaku yang mulai layu.

Lamongan, 16.00 sore.
Seperti hari-hari lalu. Kakiku melangkah dengan senandung bahagia. Ku bawa bekal makanan untuk ia yang kukagumi. Dokter Raihan. Dia adalah calon suamiku. Aku dan dia telah dijodohkan semenjak kami masih kecil. Namun, mas Raihan tak tau mengenai hal itu. Akan ku beri kejutan indah itu, nanti saat dia pulang bersamaku. Tak terasa aku telah sampai di depan pintu ruang kerjanya. Tanpa mengetuk, ku buka pintu itu. Dan ternyata kosong. Mungkin mas Raihan masih memeriksa para pasiennya. Mataku berkeliling melihat ruangan serba putih itu. 

Ada satu barang yang menarik perhatianku. Kuambil sebuah buku berwarna coklat tua dengan sampul kusamnya. Karena merasa tak ada yang mengawasiku, ku buka buku unik itu. Dan, terlihat ratusan puisi terpampang disana. Buku itu memiliki judul “Dahliaku”. Kiranya siapa yang dimaksud dahlia dibuku ini. Meski dalam kesibukannya, mas Raihan tetap sempat menuliskan bait puisi untuknya. Dan sebuah foto terjatuh. Foto seorang gadis berjilbab lebar dengan mata hitam yang sendu, hidungnya yang mancung juga senyum merekahnya, membuatnya tampak sangat indah nan anggun. Aku terkesiap. Ku lihat dibalik foto itu, tertera nama “ Husniyah Az-Zahra sang dahlia impianku”. Terasa hatiku sangat nyeri, seperti tertusuk sangat dalam, hancur dan berserakan. Ku letakkan kembali buku itu. Dan berlari pulang dengan kucuran air mata yang tak terbendung.

Lamongan, pukul 07.00 pagi.
Terasa hambar rasa makanan disini. Ku pandangi selang infus yang ada disekelilingku. Betapa indahnya nikmat yang telah diberi oleh-Nya. Bertahun-tahun lalu, aku bisa melakukan apapun dengan mudah dan gratis, tanpa ada tagihan dari sang Rabbku. Dan sekarang, bahkan hanya untuk buang hajat, agar lancar dan mudah, aku harus membayar dengan uang. Dengan nominal yang tak sedikit. Lelehan air mataku berguyur deras. Ibu merangkulku dengan kasih lembutnya.

Setiap hari, selalu saja kudapat buket bunga mawar berwarna warni dengan sehelai kertas berisi bait puisi nan indah. Entah dari siapa, akupun tak tau. Bahkan pihak rumah sakit tidak mau memberi tauku. Dalam kiriman itu selalu ada kalender yang setiap hari berkurang hitungan harinya, seakan dia ingin memberi tau sesuatu, bila telah tiba saatnya.

Kabar gembira menghampiri keluargaku. Mas Alfan telah lulus dari mesir. Dan ia akan menikahiku seminggu setelah kepulangannya ke rumah. Mas Alfan adalah tetanggaku. Ia telah lama ingin melamarku. Semenjak Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama. Ia telah mendatangi ayah dan ibuku,dan memintaku menjadi istrinya. Walau dalam hatiku masih bertengger nama mas Raihan. Tapi, siapalah wanita yang akan menolak lamaran seorang pria sholeh seperti mas Alfan.

Seminggu kemudian, aku dan mas Alfan menikah. Kini, kami telah resmi menjadi suami istri. Pernikahan sederhana kami hanya didatangi keluarga dekat. Bahkan teman-temanku juga teman-teman mas Alfan tak ada yang diberi tau. Kami belum bisa tinggal serumah. Karena aku harus menjalankan terapiku, dan mas Alfan bekerja di luar kota. Hanya seminggu berbulan madu dengannya. Lalu akhirnya kami harus berpisah lagi.

Seminggu lalu, aku cuti dari rumah sakit. Karena kakak perempuanku menikah. Rasa rinduku membuncah pada sang dahlia. Sudah tak sabar untuk memandang wajah indahnya. Mendengar suara lembutnya dan laku sholehahnya. Pagi ini, aku berangkat bersama Rina, gadis yang dijodohkan denganku. Dan aku baru tau itu, setelah kakak melangsungkan resepsi pernikahannya. Rina adalah gadis yang baik. Dia sangat cantik, gadis blasteran jawa manado dan maroko. Kulitnya putih bersih. Hijabnya lebar dan ramah sekali senyumnya. Namun, semua itu tak membuatku berpaling dari sang dahliaku. Dahlia impianku. 

Tiga pulih menit perjalanan. Kami telah sampai di pelataran rumah sakit. Mataku termenung melihat sekelebat paras dahliaku. 5 detik, 10 detik , hingga Rina menegurku. "mas.." “iya rin, mari masuk” jawabku dengan gagap. Rina hanya mengantarku sampai pintu ruang kerjaku. Dia pamit dengan wajah seperti kurang senang. Belum sempat membuka ruangan, aku berlari menuju kamar dahliaku. “assalamu’alaikum husniyah” “wa’alaikumsalam dok, silahkan masuk” jawabnya dengan senyum sahdu itu. MasyaAllah. Aku benar-benar jatuh hati padanya. Teramat dalam. Ku periksa tekanan darahnya. Dan disaat itulah, aku merasa janggal dengan cincin yang melingkar dijari manis Husniyah. “Husniyah sudah menikah? Kok pakai cincin? Maaf kepo” tanyaku dengan tingkah serba salah. “alhamdulillah dok, seminggu yang lalu saya telah menikah” jawabnya dengan ekspresi bahagia. Seketika tensimeter yang kupegang jatuh membentur lantai. Terasa sesak dan menusuk, sakit sekali hatiku, ingin bercucur air mataku. Lantas tanpa pamit, aku pergi meninggalkan dahliaku. Dengan langkah cepat, dan linangan air mata yang tertahan masuk ke dalam ruanganku, dan menguncinya. Tanpa peduli, siapa yang nanti akan kebingungan mencariku.

2 tahun berlalu.

Aku mengantar kepergian istriku dengan penuh duka. Istri yang sangat sholehah ini. Yang telah menemaniku dalam keterpurukan. Akibat cintaku yang berlebihan pada seorang wanita. Yang membuat duniaku hancur. Kupandangi nisan yang berukir namanya. Rina Larasati. Ia meninggal akibat kecelakaan tunggal , pukul 03.00 dini hari. Penyebabnya karena rem mobilku blong dan mobilnya menabrak pohon di pinggir jalan. Aku sangat sedih kehilangannya. Dia yang telah menemaniku dalam duka. Dia yang terus menguatkanku karena kehilangan dahlia impianku.

Setelah kejadian patah hati itu. Aku menikah dengan Rina. Pernikahan dadakan ini, dilangsungkan karena ayahku yang harus kembali ke italia untuk urusan bisnisnya. Dan lima bulan setelah itu. Aku masih terpuruk, bahkan aku tak bisa berbicara pada setiap orang yang kutemui, terasa tak ada semangat hidup. Dengan Rina pun, aku tak sudi berbicara. Bahkan Rina tak kuberi nafkah batin. Itu terjadi selama satu tahun. Tahun berikutnya, aku sudah bisa berbicara, walau Rina harus tetap menyuapiku makan, memandikanku, bahkan menuntunku buang hajat. Itu semua dilakukan Rina dengan senyuman ramahnya. Wajah cantiknya tak pernah terlihat mengeluh. Entah mengapa virus cinta pada dahliaku, membuatku lumpuh total. Hingga suatu hari, aku hampir saja bunuh diri. 

Ginjalku berdarah-darah karena ku tusuk dengan pisau dapur. Saat itu, Rina baru pulang kuliah. Ia kaget dan menangis tersedu-sedu melihatku terkapar berlumur darah. Ia menelepon ambulans. Di ruang ICU, dokter memneri tau, bahwa aku harus mendapat transplantasi ginjal. Tanpa pikir panjang, Rina memberikan satu ginjalnya untukku. Tak cukup sampai disana, seminggu setelah kejadian itu, aku menusuk nadiku dengan garpu. Aku kehilangan sangat banyak darah. Rina istriku tersayang, ia kebingungan mencarikan donor darah untukku. Karena stok darah B habis. Dan golongan darahnya AB. Tengah malam ia harus ke kantor PMI untuk membeli darah. Dengan perasaan khawatir, ia tetap merawatku dengan senyum ramahnya. Sungguh, betapa berdosanya aku. Menyia nyiakan istri sholehah seperti Rina. Kini, ku baru merasakan kehilangannya. Tak bisa kuhapus semua luka yang telah ku beri padanya. Tak sanggup membalas semua baktinya. Maafkan aku Rina.

Matahari bersinar menghampiriku
Namun kumenunggu rembulan purnama
Tak hiraukan matahariku
Terbujur kaku menanti rembulanku
Hingga sang matahari berlalu
Aku terseok dalam gelapnya hidupku

Lamongan, pukul 19.00 malam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi bertema negara

Artikel Coronavirus Pandemic - Social Media as Poison and Medicine for Digital Society

Pertama kalinya