Cermin (Cerita Mini) - Cerita Cinta Romantis
Pemuja Rahasia
Oleh: Mauidhotul Husniyah
Kami harus bekerja di tempat pengepulan
sampah, dan memilah-milah, sejak pagi hingga sore bersama adikku, dengan upah
tak seberapa. Dan itu kami lakukan setiap hari. Tahun ke tahun berlalu begitu
lambat. Kini, umurku sudah delapan belas tahun. Dan adikku sembilan tahun. Hari
ini, kami merencanakan suatu hal besar dalam hidup kami. Yaitu makan soto
Lamongan di pojok pasar kota, hal yang kami impikan sejak dua minggu lalu. Dan
disanalah, aku melihatnya atau lebih tepatnya dia melihatku. Atau semesta yang
menyatukan kami.
Setiap hari, ditempat yang sama. Pasar kota
yang masih kumuh, tepat di depan warung makan soto Lamongan. Ia terus
menghampiriku, menghadiahiku bunga mawar merah. Aku tidak tau pasti bagaimana
wajahnya, karena hanya kedua matanya saja yang nampak, dia berlalu begitu cepat
saat aku ingin membuka kain penutup wajahnya. Desir hatiku mengatakan dia
adalah pemuja rahasiaku.
Sore dengan senja merah, aku mengusap peluh yang
ada di dahi. Dia datang lagi, memberiku bunga merah, bukan tidak pernah aku
mencari tau tentang dia, bahkan setiap orang pernah kutanyai. Mereka menggeleng
pelan, dan aku terkubur rasa penasaran. Bunga mawar itu memang bukan mawar
sungguhan, melainkan bunga kertas yang dibuatnya sendiri, kukira. Anehnya,
tidak ada orang yang memerhatikan kami, saat momen romantis itu berlangsung.
Mungkin, karena kami masih muda mudi yang kasmaran. Mereka memaklumi.
Memungut sampah bersama adikku adalah
pekerjaan mudah seharusnya. Tapi, pikiran dan hatiku selalu kalut dibuai
ingatan tentang mawar misterius yang kini hampir memenuhi selokan, karena aku
membuangnya kesana. Bukan tidak menghargai, tapi aku tidak ingin menyimpannya,
aku hanya menginginkan pemberi mawar itu. Bahkan, di sore dua hari lalu, ku
pegang erat lengan tangan kanannya, agar ia mau berbicara dan membuka penutup
wajahnya, akan kuterima dia apa adanya, tidak peduli cacat dan buruknya. Karena
debaran hatiku sudah tak karuan kurasa. Tapi, dayaku lemah, dia menghempas
pelan cengkaraman tanganku, dan pergi secepat kilat, berlalu meninggalkan sesak
rindu dan kemisteriusannya.
Hatiku menggelora, sore kali ini berbeda.
Pemberi mawar membuka kain penutup wajahnya, dia begitu berparas indah,
kulitnya segar kurasa, matanya yang kecoklatan membiusku, tangannya menggenggam
erat jari jemariku. Ia meremasnya kuat, hingga aku menjerit.
“Kenapa kau lakukan itu, apa kau benar-benar
menggilaiku,” kalimatku menjadi aneh, dia tidak menjawab hanya tersenyum tipis.
Sejenak kami kembali terdiam, mata kami
bertatapan lama, dia semakin mendekat, wajah kami begitu dekat, hanya berjarak
sepuluh sentimeter kukira, dia mendekati telinga kananku. Dia berbisik keras.
“Aku menyayangimu, kembalilah kepadaku segera,
kedalam pikiran jernihmu, akan kutunggu kau di ruang waktu,” kata pemuja
rahasiaku.
Aku terdiam, dan memutuskan pulang, pasrah.
Ia mengakhiri rasa penasarannya dengan membuat
mawar merah kertas, dan membuangnya di selokan depan rumah sakit. Begitu setiap
sorenya. Dan Dokter memutuskan dia menderita gangguan jiwa.
Komentar
Posting Komentar